The Look of Silence (2014), sebuah film dokumenter karya Joshua Oppenheimer, adalah lanjutan dari karya fenomenalnya sebelumnya, The Act of Killing (2012), yang mengeksplorasi kekejaman pembantaian massal di Indonesia pada tahun 1965-1966. Meskipun keduanya saling berhubungan, The Look of Silence memberikan perspektif yang lebih dalam dan berbeda dengan berfokus pada dampak psikologis dari peristiwa tersebut terhadap korban dan keluarganya.
Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih jauh tentang film ini, mengapa The Look of Silence mendapat pujian internasional, serta bagaimana film ini mengungkap sisi gelap sejarah Indonesia dengan cara yang sangat kuat dan menyentuh.
Pendahuluan: Memandang Ke Dalam Kegelapan Sejarah
The Look of Silence membawa penonton untuk menyelami sejarah kelam yang sering kali disembunyikan atau diabaikan. Di Indonesia, tragedi yang terjadi pada tahun 1965-1966, di mana puluhan ribu orang yang dianggap komunis atau simpatisannya dibantai, sering kali tidak dibicarakan secara terbuka. Sebagai lanjutan dari The Act of Killing, Oppenheimer kembali menggali cerita yang terpendam, namun kali ini dengan pendekatan yang lebih halus dan penuh empati.
Film ini mengikuti perjalanan seorang pria bernama Adi, seorang optik yang mencari kebenaran tentang pembunuhan saudaranya, Ramli, yang menjadi salah satu korban dari peristiwa tersebut. Melalui percakapan dengan para pelaku yang terlibat dalam pembantaian, Adi menggali luka-luka yang masih terpendam dalam masyarakat Indonesia. Tanpa kekerasan visual yang eksplisit, film ini menggambarkan bagaimana sejarah dan trauma masa lalu terus hidup di dalam masyarakat.
Sejarah di Balik Pembantaian 1965-1966
Pada tahun 1965-1966, Indonesia mengalami salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarahnya: pembantaian terhadap jutaan orang yang diduga terlibat dalam komunisme, yang dipicu oleh upaya penggulingan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Setidaknya setengah juta orang tewas selama periode tersebut, dan pembantaian itu dilakukan oleh militer, kelompok paramiliter, serta warga sipil yang merasa terancam oleh ideologi komunis.
Namun, pembantaian tersebut sering kali disembunyikan atau dibiarkan begitu saja oleh pemerintah Indonesia pada waktu itu dan bahkan hingga sekarang. Meskipun sebagian besar pelaku masih hidup dan bebas dari jeratan hukum, banyak korban dan keluarga mereka yang terus menderita dalam diam. Inilah yang ingin digali oleh The Look of Silence — dampak dari trauma yang diturunkan dari generasi ke generasi, dan bagaimana orang-orang yang masih hidup harus hidup berdampingan dengan para pelaku yang tidak pernah dihukum.
Kisah Adi: Mencari Kebenaran di Tengah Kegelapan
Adi adalah karakter sentral dalam film ini. Dia adalah seorang optik yang tinggal di sebuah desa kecil di Sumatera Utara, tempat tragedi 1965-1966 terjadi. Meskipun peristiwa itu sudah berlalu puluhan tahun, Adi merasa bahwa kebenaran harus terungkap agar dia dan keluarganya bisa mendapatkan kedamaian. Dalam pencariannya, Adi menemui beberapa orang yang terlibat dalam pembunuhan saudaranya, Ramli, yang juga menjadi salah satu korban dari kekejaman tersebut.
Yang menarik dari pendekatan Oppenheimer adalah bagaimana dia memilih untuk menggali cerita ini melalui mata Adi. Tanpa menggunakan kekerasan fisik atau konfrontasi terbuka, Adi mencoba menggali kebenaran dengan cara yang lebih mendalam dan emosional, berbicara dengan pelaku yang masih hidup tanpa menunjukkan kebencian atau kemarahan. Oppenheimer membiarkan Adi berinteraksi dengan para pelaku dengan sikap yang penuh kesabaran dan ketenangan, meskipun setiap kata yang diucapkan oleh para pelaku mengandung kebohongan atau pembenaran yang mengerikan atas tindakan mereka.
Dialog yang Mengungkapkan Kebenaran
Salah satu kekuatan terbesar dari The Look of Silence adalah bagaimana film ini menggambarkan interaksi antara Adi dan para pelaku pembantaian. Dialog yang muncul dalam film ini penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan, seolah-olah penonton dapat merasakan emosi yang ada di antara mereka tanpa kata-kata. Pelaku-pelaku tersebut sering kali terlihat merasa cemas atau bahkan marah saat Adi menanyakan tentang pembunuhan yang mereka lakukan, namun mereka tetap membela tindakan mereka sebagai bagian dari “pembersihan” ideologi yang perlu dilakukan.
Film ini juga memperlihatkan bagaimana para pelaku berusaha untuk melegitimasi tindakan mereka, meskipun bukti yang ada menunjukkan bahwa tindakan tersebut adalah pembunuhan massal yang tak termaafkan. Ini memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana trauma dan rasa bersalah dapat dimanipulasi, baik oleh individu maupun oleh negara.
Dampak Psikologis dari Pembantaian
The Look of Silence tidak hanya menceritakan tentang pencarian kebenaran, tetapi juga menggali dampak psikologis yang ditinggalkan oleh pembantaian tersebut. Melalui perjalanan Adi, kita melihat bagaimana trauma dari peristiwa tersebut terus hidup dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam keluarga korban. Adi merasa bahwa meskipun waktu telah berlalu, luka-luka tersebut belum sembuh, dan tidak ada ruang untuk berdamai dengan masa lalu.
Selain itu, film ini juga menyentuh bagaimana ketakutan dan rasa takut terus menghantui masyarakat. Para pelaku masih hidup dan bebas dari hukuman, sementara keluarga korban tidak bisa berbicara dengan bebas tentang apa yang terjadi pada tahun-tahun kelam itu. Ini menciptakan siklus ketakutan dan kebisuan yang tidak bisa terpecahkan tanpa adanya pengakuan atas kebenaran dan keadilan.
Penerimaan dan Pengaruh Film
The Look of Silence mendapatkan banyak pujian dari kritikus dan audiens internasional karena pendekatannya yang halus namun penuh kekuatan dalam mengungkapkan kebenaran. Film ini dipuji karena keberaniannya dalam mengungkapkan sisi gelap sejarah Indonesia yang sering kali disembunyikan. Banyak yang merasa bahwa film ini memberikan suara bagi mereka yang tidak bisa berbicara tentang pengalaman mereka secara terbuka.
Selain itu, film ini juga menjadi pengingat bagi dunia tentang pentingnya rekonsiliasi dan pengakuan atas kesalahan masa lalu. Meskipun film ini sangat spesifik dalam konteks Indonesia, pesan universal tentang keadilan, pengampunan, dan kebenaran dapat diterima oleh siapa saja yang menyaksikan.